23 Jan 2016

DIA


Kini, pagi hari adalah waktu yang paling menjengkelkan bagiku. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Sejak kehadirannya di tengah-tengah keluargaku semua berubah. Kehadirannya seakan merenggut perhatian ayah dan bunda dariku. Biasanya setiap pagi, bunda selalu membangunkan dengan kecupan lembut di keningku. Lalu bunda membuka jendela kamarku. Udara pagi seakan berebut masuk menyerbu. Sinar mentari malu-malu mengintip dari balik tirai bermotif bunga. Ritual pagi yang selalu berhasil mengobarkan semangatku untuk memulai hari baru. Tapi kini aku tidak dapat lagi menikmatinya. Semua itu hilang. Saat aku protes, bunda mengatakan bahwa aku sudah besar. Harus mandiri. Tidak perlu lagi dibangunkan. Sebagai gantinya bunda membelikan sebuah jam weker berbentuk Doraemon, kartun kesayanganku.

Ya, terkadang aku merasa iri dengan Nobita. Memiliki sahabat lengkap dengan kantung ajaib. Kantong yang berisi benda apa yang diperlukan saat Nobita mengalami kesulitan. Tak ketinggalan pintu ajaib. Pintu yang siap mengantar Nobita ke mana saja. Bahagia rasanya. Aku berkhayal memiliki sahabat seperti Doraemon. Apalagi seperti sekarang. Di rumah ini, aku merasa kesepian. Ingin rasanya aku pergi ke suatu tempat yang dapat memberikanku rasa nyaman seperti dulu. Ya, sebelum dia hadir.

“Glo…” suara bunda membuyarkan lamunanku.
“Iya, bun,” jawabku dengan cepat sambil bergegas beranjak dari tempat tidurku yang empuk.

Sekarang aku pun harus menyiapkan keperluanku sendiri. Dia benar-benar mengalihkan perhatian bunda dariku. Saat aku protes, bunda mengatakan bahwa aku sudah besar. Waktunya untuk hidup mandiri. Sudah beberapa kali aku mendengar kata-kata itu. Huh, membosankan. Aku berangkat sekolah dengan gontai. Biasanya bunda yang mengantarku. Karena kantor bunda searah dengan sekolahku. Tapi kini, aku harus berangkat dengan angkutan umum. Oiya, bunda rela berhenti dari pekerjaan yang sangat dicintainya demi dia. Saat aku protes, bunda selalu mengatakan bahwa aku sudah besar. Tidak boleh manja. Selalu kata-kata itu lagi yang ku dengar. Lagi dan lagi. Kejengkelanku ibarat sebuah balon yang sedang dipompa. Pelan-pelan membesar dengan masuknya udara. Kian hari semakin bertambah besar rasa benci ini. Siap untuk meletus. Namun kemarahanku sedikit mereda saat melihat wajah lelah bunda. Wajah yang dulunya terlihat segar kini tampak layu.
Bunda tertidur di sofa ruang tamu. Tergambar jelas kelelahan di wajah cantiknya. Aku berniat untuk membangunkan bunda agar pindah ke kamar. Tapi sebelum aku melakukannya, tiba-tiba terdengar tangisan keras dari kamar yang membuat bunda terbangun. Huh. Dia selalu saja merepotkan bunda. Sejak aku tahu bahwa dia akan hadir di tengah kehidupan ayah, bunda dan aku. Sejak itu pula, tumbuh kebencianku pada dia. Ya, bahkan sangat benci. Apa yang aku bayangkan selama ini pun terjadi. Kasih sayang ayah, terutama bunda mulai teralihkan. Terdengar sayup-sayup suara bunda bersenandung. Bersamaan dengan itu, perlahan suara tangisan pun berhenti.

Sejak ayah dan bunda membawa dia ke rumah ini. Belum pernah sekalipun aku melihat wajah dia. Saat pertama kali melihat dia di rumah sakit, aku mencium pipi dia yang lembut. Itu pun aku lakukan hanya untuk menyenangkan hati ayah dan dan bunda. Sebuah keterpaksaan.

Siang ini, tak seperti biasanya ayah menjemput aku sekolah. Padahal belum waktunya untuk pulang. Terpancar kesedihan mendalam di wajah ayah yang tegas. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dalam perjalanan pulang, tak satu kata pun terucap. Hening. Aku ingin bertanya, tetapi urung. Menunggu hingga ayah menjelaskan kepadaku. Namun ayah tetap saja diam. Fokus dengan kendaraan lain yang berlalu lalang di keramaian lalu lintas.

Saat memasuki gang yang menuju rumahku, terpasang bendera kuning di salah satu tiang listrik. Perasaanku tidak enak. Perutku rasanya mual. Tetapi aku tidak memiliki keberanian yang kuat untuk bertanya pada ayah. Semakin dekat rumah, semakin tidak menentu perasaanku. Hampir sampai di rumah, dari kejauhan ku lihat rumah dipenuhi banyak orang. Terpasang tarup, sepertinya rumah mungil kami tidak cukup bagi orang-orang itu. Mataku tertuju pada benda yang melambai tertiup angin. Bendera kuning.

Ayah memberhentikan mobil tepat di depan rumah pak Ari. Tetangga yang berjarak 3 rumah dari rumahku. Karena gang ini telah dipenuhi mobil-mobil lain.
“Apa yang terjadi , ayah?” tanyaku sebelum turun. Suaraku bergetar. Tenggorokanku terasa kering.
“…” tak ada jawaban.
Ayah menuntunku menuju rumah kami. 

Di sanalah aku menemukan jawabannya. 
Kudapati bunda sedang menangis di depan tubuh mungil yang terbujur kaku. Dia tampak cantik dalam tidur yang damai. Tangisku pecah. Ku peluk bunda.  Erat. Rambut dan wajahku basah oleh butiran air mata bunda. 
Rasa benci yang selama ini ku pendam, tiba-tiba menguap. Berganti dengan rasa kehilangan. Aku tenggelam dalam penyesalan. Tubuh mungil yang telah kaku itu, milik dia yang selama ini ku benci. Adikku yang terlahir dengan kelainan jantung.         
  

            
Yippee!!!
rOMa Pakpahan

3 komentar:

  1. Hwahhhh keren endingnya nih kak..
    Aku kira siapa, emang awal cerita agak bisa ditebak tokoh dia. Eh nympek tengah2 agak bimbang dan baru jelas pas akhirnya...
    Suksee utk GA nya ya kak....
    Salam kenal ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Rohma. Kyk lg ngmg dgn diri sendiri, lo. Hihihihi. Nama kita nyaris sama ya.
      Makasih tuk dukungannya.
      Pengalaman pertama ikutan GA nih :)

      Hapus
  2. Unpredictable ending, ya. Tulisannya juga rapih..

    BalasHapus

terima kasih untuk beringan hati memberikan komentar :)