Tampilkan postingan dengan label FIKSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIKSI. Tampilkan semua postingan

3 Sep 2016

Pertemuan Tak Terduga



“Ngga nyangka gue. Kita bisa ketemu lagi,” ujar Lina pada Winda, sahabatnya.

“Iya. Gue seneng banget,” seru Winda tak kalah senang.

Sore itu, di tengah derasnya hujan yang membasahi kota Karang, Lina memilih untuk berteduh di sebuah kafe. Tak disangka, ia bertemu dengan seseorang yang selama ini amat dirindukannya. Perjumpaan yang tak terduga. Mengharukan. Akhirnya, setelah sekian tahun berpisah, sang waktu pula yang mempertemukan kembali kedua sahabat itu. Mereka larut dalam pelukan hangat.

21 Agu 2016

KOPI, AKU DAN AYAH



Dia menggoda. Sangat. Entah mengapa baru sekarang aku bisa menikmati ciptaan Tuhan yang satu ini. Ke mana saja aku selama ini? Ada sedikit penyesalan kenapa tidak sejak dulu aku mengenal dia. Jangan tanya. Aku tidak tahu. Sumpah.

Perkenalan kami berlangsung begitu saja. Tak terencana sedikit pun. Seorang sahabat, Bagas, mengenalkannya padaku. Minggu pagi, aku kebetulan mengunjungi tempat kos Bagas. Sahabatku itu, sedang bersantai ditemani dia. Merasa perlu berlaku sebagai tuan rumah yang baik, Bagas mengenalkan kami. Sejak saat itu, aku jatuh cinta pada dia. Ya, seperti ungkapan abege, jatuh cinta pada pandangan pertama.

Peristiwa penting itu, sudah berlangsung beberapa tahun lalu, saat awal aku kuliah dulu.

26 Feb 2016

Tanda Tanya



Di usia yang hampir menginjak 30 tahun, Dini masih memilih untuk tetap sendiri. Be single lady. Tak ada yang kurang dari dirinya. Paras cantik. Karir bagus. Bukan tidak ada pria yang tertarik padanya. Tetapi Dini yang belum siap untuk menikah.

“Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?” tanya Eli suatu ketika.
“…”
“Ingat umur, Din.”
“…”
Percakapan pun berhenti sampai di situ. Tak pernah ada akhirnya. Menggantung. Dini sadar Eli tidak bermaksud memojokkannya. Justru sebaliknya. Eli menyayanginya.

Eli, sahabatnya sudah menyandang gelar nyonya sejak empat tahun lalu. Pernikahan Eli dan Tomi bahagia. Mereka telah dikarunia seorang putri kecil yang menyempurnakan kebahagiaan keluarga kecil itu. Eli selalu bercerita hari-hari indah menjalani perannya sebagai istri dan ibu. Terselip rasa sedih saat menyaksikan Eli menimang putrinya. Hati kecil Dini terusik.

Hari-hari Dini berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Dini larut dalam pekerjaan kantor yang tidak ada hentinya. Tumpukan laporan lah tempat pelariannya dari pertanyaan-pertanyaan seputar pasangan hidup. Dini sengaja menyibukkan diri. Tidak hanya sekali Dini mendengar suara-suara sumbang yang ditujukan pada dirinya. Dini tak peduli.

Siang itu, Dini sedang menikmati makan siang. Seorang diri. Ponselnya berdering.

“Selamat siang, bu manager,” terdengar suara di seberang sana. Suara yang tidak asing lagi di telinga Dini. Suara renyah itu milik Arya. Mereka terlibat dalam obrolan yang menyenangkan. Dini belajar membuka hatinya bagi Arya. Laki-laki yang entah sudah berapa kali mengutarakan isi hatinya. Dan entah sudah berapa kali pula Dini menolak. Sepertinya Arya bukanlah tipe laki-laki yang mudah menyerah. Perjuangan Arya begitu luar biasa untuk memenangkan hati Dini. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Dini melunakkan egonya. Ia pun menerima cinta Arya. Dan mereka resmi berpacaran. Semua senang mendengar kabar bahagia itu. Termasuk Eli.

Malam itu, kencan pertama Dini. Arya telah menyiapkan makan malam super romantis.
“Makasih Arya. Aku senang banget. Kamu memperlakukanku layaknya seorang putri. So sweet.” Mata Dini berbinar.
“Kamu pantas mendapatkannya. Aku sayang kamu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kamu.” Arya melingkarkan cincin bertatah berlian di jari Dini. Terpancar kebahagiaan di wajah Dini. Sepertinya ia siap untuk melepas masa lajangnya.

Di kamar, Dini masih belum bisa memejamkan mata. Hatinya terlalu bahagia. Dini mengamati cincin pemberian Arya. Dini terperanjat melihat inisial yang terukir di cincin itu. MR. Sedangkan insial namanya DK.     



Yippee!!!
rOMa Pakpahan           

25 Feb 2016

AYAH

sumber: www.lideadwi.wordpress.com

Di usia 3 tahun, Sigi harus menerima kenyataan pahit. Ibunya meninggal karena kanker. Sigi pun hanya memiliki sosok ayah. Sigi kecil begitu bersemangat jika tiba hari Sabtu. Saat itu waktu baginya bisa bermain bersama ayah. Banyak keseruan yang dilakukan bersama ayah, berenang, bersepeda dan membaca. Sungguh hari yang menyenangkan.

Hingga kini di usia 23 tahun, ayah masih tetap menjadi sahabat terbaik. Sigi masih tetap gadis kecil ayah. Hingga tiba saatnya ada laki-laki yang akan menggantikan peran ayah untuk menjaga Sigi. Tampak jelas terlukis rasa cemburu di wajah ayah. Saat Sigi menghabiskan waktu liburnya bersama Gilang, kekasihnya.
“Ayah kok sekarang dicuekin? Mentang-mentang ngga seganteng Gilang,” canda ayah di suatu sore.
“Ayah tenang aja, deh. Ngga ada yang bisa menggantikan tempat ayah di hati Sigi. Biar Gilang sekalipun,” jawab Sigi memeluk ayah dengan penuh kasih.
“Gilang, laki-laki baik dan santun. Ayah ikhlas jika suatu saat harus pergi. Ayah ikut berbahagia melihat kebahagiaanmu, nak.”

Di sebuah ruangan rumah sakit, ayah dan Sigi sedang berhadapan dengan dokter. Dunia terasa gelap saat mendengar penjelasan dokter mengenai penyakit yang diderita ayah saat ini.
“Ayah anda terkena Alzheimer. Suatu penyakit yang menyerang bagian otak. Mematikan sel saraf. Sehingga penderita mengalami kepikunan yang akut. ”
“Apa bisa disembuhkan, dok?”
“Sampai saat ini belum ditemukan obat bagi penderita Alzheimer. Kepikunan itu perlahan akan membuat ayah anda melupakan banyak hal. Termasuk anda sebagai putrinya.”
Tak kuat Sigi menahan air mata yang telah membendung di pelupuk matanya.

Hari-hari berubah menjadi sendu. Tingkah ayah menjadi aneh. Sering marah tanpa alasan yang jelas. Ayah yang periang kini lebih banyak berdiam diri. Seakan sibuk dengan dunianya sendiri. Sigi rindu ayah yang dulu. Penyakit ayah semakin parah. Namun Sigi tetap sabar merawat ayah. Seperti dulu ayah penuh kasih sayang dan kesabaran merawat dirinya.
“Hai, kamu siapa?” Pertanyaan itu yang selalu membuat hati Sigi pedih bagai diiris sembilu. Ayah telah melupakan Sigi. Putri semata wayangnya. Memori kebersamaan mereka seakan terhapus. Tak tersisa sekeping juga. Tidak satu pun ayah ingat. Bila Sigi mencoba untuk mengingatkannya, justru membangkitkan amarah ayah. Sigi pasrah.

Senja itu, Sigi membawa ayah ke dokter karena keadaannya sangat mengkhawatirkan. Perawat memasang beberapa selang di tubuh ayah. Sigi tahu itu sangat menyiksa. Tapi Sigi ingin melakukan yang terbaik untuk ayah.  
  
Seminggu sudah ayah koma. Sigi selalu berada di samping ayah. Siang itu, Sigi tertidur karena kelelahan. Tiba-tiba ia merasakan ada tangan yang membelai rambutnya dengan lembut. Belum juga Sigi tersadar sepenuhnya dari tidur. Sigi mendengar kalimat yang sangat dirindukannya.
“Ayah sayang Sigi.” Sigi terlonjak mendengarnya. Ayah bisa mengingat dirinya. Ada rasa haru tersemat di hati Sigi.
“Sigi juga sayang ayah.” Dipeluknya ayah. Erat. Namun suasana haru itu terjadi begitu singkat.
“Ayah harus pergi sekarang, nak. Jaga dirimu.” Itu pesan ayah.
Dan ayah pun menghembuskan nafas terakhirnya. Sigi menangis histeris.
Tampak kedamaian di wajah ayah. “Sigi sayang ayah. Selamat jalan, ayah,” ucap Sigi di sela-sela isak tangisnya. 



Yippee!!!
rOMa Pakpahan

22 Feb 2016

Inikah Cinta?


www.romapakpahan.blogspot.co.id
Sabtu sore itu, di sebuah kafe. Hujan di luar seakan tidak ingin pergi. Deras. Suara petir terdengar bersahutan mengiringi tetesan hujan yang membasahi bumi. Stella terkurung, tanpa mampu berbuat apa-apa. Hanya ditemani sebuah novel dan secangkir Cappucino hangat. “Andai saja tadi aku tak lupa membawa payung.’’ Stella menggerutu dan mengutuki diri sendiri. Matanya menyisir seluruh ruangan kafe. Dari sekian pengunjung, hanya dirinya yang duduk sendirian. Kesepian.

“Selamat sore. Sendirian aja? Boleh saya duduk di sini?” sapa seorang laki-laki. Stella terkejut. Hampir saja ia menjatuhkan novel yang dibacanya.
“Selamat sore. Sendirian aja? Boleh saya duduk di sini? Laki-laki itu mengulangi pertanyaan.
Stella menatap lekat dan hanya menganguk perlahan. Keduanya berkenalan. Laki-laki  itu bernama Awang. Tak lama kemudian, mereka telah tenggelam dalam obrolan santai. Tak biasanya Stella dapat dengan mudah menerima kehadiran laki-laki asing.  
Hujan mulai reda. “Maaf, saya harus segera pulang. Makasih, Wang.” Stella tampak tergesa-gesa.

“Ke mana saja kamu? tanya mama ketus saat Stella melewati ruang keluarga.
“Ma, aku ini udah 24 tahun. Bukan anak kecil lagi,” jawab Stella tak kalah ketus. Ia mempercepat langkahnya menghindari ceramah mama. Di kamar, ia menghempaskan tubuh mungilnya ke kasur. Hanya di ruang pribadinya ini, Stella merasa nyaman. Mama over protective tanpa alasan jelas. Tak pantas lagi untuk usia Stella saat ini. Ia merasa jengkel dengan sikap mama.

Stella memejamkan mata dan muncul bayangan wajah tampan milik Awang. Laki-laki yang baru saja dikenalnya. Namun laki-laki itu mampu membuat Stella tertawa lepas. Ada desiran aneh dirasakannya. Inikah yang dinamakan cinta? Stella berusaha menepis rasa itu. Menyimpannya jauh-jauh.

Sebulan berlalu sejak pertemuan singkat di kafe.

Stella dan Awang dipertemukan kembali di sebuah toko buku. Ternyata keduanya memiliki kesamaan tema bahan bacaan. Obrolan kali ini pun tak kalah seru. Di sela obrolan, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun. Menggelayut manja. “Pa, kita pulang, yuk,” ajak anak itu sambil menarik tangan Awang. Demi mendengarnya, Stella seperti tersambar petir di siang bolong. Bunga-bunga cinta itu layu sebelum sempat berkembang.   
           



Yippee!!!
rOMa Pakpahan

19 Feb 2016

Ketika Yanti Lupa Mencinta




Sore itu, Yanti duduk seorang diri di teras belakang. Termenung. Entah apa yang sedang ia pikirkannya. Besok merupakan hari ulang tahun seseorang yang dulu pernah menghuni di hatinya. Bagas. Laki-laki berbadan atletis, dengan lesung pipi yang melengkapi ketampanannya. Lelaki yang selalu mampu membuat hati Yanti meleleh dengan puisi-puisi romantis.

Itu dulu. Kini, Yanti harus berjuang melewati hari-hari dalam kesendirian. Tragedi naas dua tahun lalu merenggut nyawa Bagas, laki-laki yang begitu dicintainya. Yanti sangat terpukul dan sempat mengalami depresi berat. Sebulan penuh, ia hanya menangis dan tak mau keluar kamar. Keluarga dan juga Siska, sahabatnya merasa khawatir dengan kondisi Yanti. Semua berusaha menghibur. Mereka tidak sampai hati melihat Yanti larut dalam kesedihan yang mendalam. Setelah sebulan kejadian tersebut, Yanti perlahan mulai bisa menerima kepergian Bagas dengan ikhlas.

Siska bahkan berusaha beberapa kali memperkenalkan Yanti dengan beberapa temannya. Siska berharap Yanti bisa membuka pintu hatinya. Memberi kesempatan bagi cinta yang baru. Tetapi Yanti menolak dengan tegas. Dengan alasan ia belum siap. Tidak mau hanya pelarian saja. Menurutnya cinta itu bukan pakaian, jika bosan lalu diganti atau bahkan dibuang begitu saja.

Suatu senja di sebuah halte.
“Hai, Yanti.” Sapa seseorang saat Yanti sedang menunggu bis.
“Hai.” Yanti hanya menanggapi seadanya.
“Kamu lupa, ya? Saya Farhan. Kita satu angkatan.”
Yanti berusaha mengingat sejenak. “Ya ya, saya ingat sekarang.” Masih dengan gaya cuek.
“Wah, udah lama banget kita ngga ketemu. Terakhir pada saat wisuda. Kamu terlihat semakin cantik, ya.”

Itu awal pertemuan kembali Yanti dan Farhan. Setelah sekian tahun mereka tidak bertemu. Perlahan namun pasti, Farhan mampu mengembalikan keceriaan Yanti. Farhan datang di waktu yang tepat. Ketika Yanti lupa mencinta, dengan sabar Farhan mengingatkan kembali makna cinta.  






Yippee!!!
rOMa Pakpahan

18 Feb 2016

Cerita Dibalik Secangkir Teh



Pria tua itu muncul lagi di warung mbok Minah. Duduk di tempat yang sama, meja dan kursi di sudut warteg. Seorang pria berusia sekitar enam puluh lima tahun, dengan rambut berhias uban. Pria tua itu betah duduk berlama-lama sambil menikmati secangkir teh hangat di warteg mbok Minah. Teh racikan warisan kakek mbok Minah ini, tiada tandingannya di kampung Jati Mulyo. Rasanya khas.

Mbok Minah memiliki banyak pelanggan setia. Tapi pria tua itu, sedikit berbeda. Jarang berbicara. Lebih banyak berdiam diri, memandangi sebuah foto, sambil sesekali menyeruput teh. Terdorong rasa penasaran, suatu kali mbok Minah menanyakan perihal foto tersebut. Tapi sayang, pria tua itu hanya tersenyum. Sejak saat itu, mbok Minah menyimpan dalam-dalam rasa penasarannya. Sepertinya si pria tua tidak ingin ada orang yang mengusik kehidupan pribadinya.

Waktu terus berputar.

Pria itu tetap setia datang untuk menikmati teh ala warteg mbok Minah. Namun hari ini, seperti ada yang kurang pas. Sang penunjuk waktu sudah berdentang sebanyak dua belas kali. Pria tua itu belum juga muncul. Biasanya ia datang pukul sepuluh. Lalu pulang pukul dua belas, setelah makan siang.

Kemarin, saat sedang membersihkan warung, tak sengaja mbok Minah menemukan selembar foto lusuh. Warnanya mulai kekuningan. Foto sepasang pengantin yang tampak bahagia. Sepertinya milik si pria tua. Mbok Minah menyimpan dan bermaksud untuk memberikannya kepada si empunya. Keesokan harinya, kursi favorit pak tua itu tetap kosong. Setiap hari mbok Minah menunggu kedatangan pak tua itu. Tiga hari berlalu, si pak tua belum juga muncul.

Hingga pagi itu datang sepasang suami istri. Dari penampilannya, tampak berasal dari kota. Mereka memesan teh dan beberapa kue jajanan pasar. Tak lama kemudian mereka larut dalam obrolan. “Pa, coba lihat. Ada foto ayah dan ibu. Kok bisa ada di sini, ya?” tanya sang istri penasaran. Untuk mendapatkan jawaban, sang suami menghampiri mbok Minah yang sedang duduk di belakang meja kasir.
“Maaf, kalau boleh tahu. Ibu mengenal ayah dan ibu saya?” tanya sang suami sambil menunjuk foto yang terselip di dinding warteg yang terdiri dari susunan kayu.
“Saya tidak begitu kenal. Tetapi pria pemilik foto ini, pelanggan setia teh di warteg ini.” Mbok Minah menyerahkan foto tersebut.
“Oh. Pria itu ayah saya. Dan ini foto pernikahan ayah dan ibu. Mereka berasal dari kampung ini. Tetapi sejak ibu meninggal, beberapa tahun lalu. Ayah tinggal bersama kami di kota. Menurut cerita ayah, saat masih muda, ayah dan ibu sering berkunjung ke warteg ini. Sekedar mengobrol sambil minum teh. Saya dan istri penasaran. Kami memutuskan untuk mampir ke warteg ini, sebelum kembali ke kota setelah mengikuti acara peringatan empat puluh hari ayah meninggal. Ternyata benar kata ayah, teh di warteg ini sangat enak.”

Mbok Minah tidak terlalu memperhatikan lagi kalimat terakhir yang dikatakan oleh lelaki yang berada di hadapannya. Ia sangat terkejut mendengarnya. “Lalu siapa pria tua yang beberapa waktu lalu sering datang memesan secangkir teh?” gumam mbok Minah merinding.



Yippee!!!
rOMa Pakpahan