16 Feb 2016

Mawar Putih


                                                                                             
Serumpun pohon mawar putih tumbuh subur di halaman depan. Serasi dengan rumah mungil kami yang bergaya minimalis. Mas Rian yang menanam pohon mawar itu, tepat di hari pernikahan kami. Katanya sebagai saksi ikrar janji suci kami. Seputih cinta kami. 
Pohon mawar itu ku rawat dengan baik. Setiap sore, aku menyiramnya. Sebagai gantinya, aku selalu mendapat persembahan kuntum-kuntum mawar cantik. Lalu aku letakkan di kamar. Di samping meja rias. 
Pohon mawar itu selalu memancarkan keindahannya. Tak salah memang jika bunga mawar sering diikutkan untuk menambah suasana romantis. Tetapi tidak demikian dengan hari-hari pernikahan aku dan mas Rian. Rumah kami seakan diselimuti awan mendung, yang siap memuntahkan butiran-butiran hujan. Terasa kelam.

“Nit, mana sarapannya? Buruan! Aku bisa terlambat sampai kantor.” Suara mas Rian terdengar tidak nyaman di telingaku. Kemana hilangnya suara lembut khas mas Rian yang selama ini ku kenal? Dua tahun kami berpacaran, telingaku selalu diamanjakan dengan suara lembutnya yang penuh kata cinta. Namun semua lenyap begitu saja. Seperti debu tersapu angin. Tak berbekas.

Tak hanya suara kasarnya yang ku dengar. Kini, tak segan mas Rian mendaratkan tangannya di pipiku. Menyisakan tanda merah. Aku hanya bisa menangis. Mas Rian telah berubah total. Layaknya monster yang siap menyerang kapan saja. Hanya kuntum-kuntum mawar yang setia menemaniku menjalani hidup yang mengerikan ini.

Tepat tiga tahun pernikahan aku dan mas Rian. Hari dimana aku mencurahkan segenap keberanianku untuk mengakhiri janji suci kami. Mataku menyapu sekeliling dan terhenti pada pohon mawar di halaman depan. Pohon mawar itu terlihat mulai layu. Dedaunannya berguguran. Pasrah diterbangkan angin. Pohon mawar itu seakan ikut merasakan kepedihanku saat ini.






Yippee!!!
rOMa Pakpahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih untuk beringan hati memberikan komentar :)